Lagi, lagi melodrama jadi tontonan yang benar-benar bikin pusing dan menggemaskan. Entah bagaimana caranya memproses emosi yang campur aduk usai menonton drama Korea besutan Netflix ini: Melo Movie. Sepuluh episode yang membuat kita seolah masuk ke dalam cerita dan mengajarkan bahwa, yang namanya hidup harus terus berjalan, apa pun yang terjadi. Namun, daya tarik utamanya bukanlah sekedar cerita cinta. Melainkan bagaimana drama ini memperlihatkan luka akan masa lalu dan kerumitan hubungan yang seringkali penuh salah paham.
Kenapa Harus Melo?
Ko Gyeom adalah seseorang yang sangat tergila-gila dengan film. Bukan hanya karena kecintaannya pada dunia tersebut, tetapi karena film adalah satu-satunya cara baginya untuk berinteraksi dan menghabiskan waktu bersama kakak laki-lakinya, Ko Jun. Bagi Gyeom, film adalah teman yang setia dalam membunuh sepi di tengah kesendiriannya.
Hingga kemudian hadir Kim Mu-bee, sosok yang mulai “mengganggu” hidup Gyeom sejak pertemuan pertama mereka di sebuah kantor studio film. Saat itu, Gyeom baru saja mengikuti audisi casting. Mu-bee berpapasan dengannya ketika memasuki kantor, sementara Gyeom sedang duduk sambil mengenakan sepatu.
Berbeda dari Gyeom, bagi Mu-bee film adalah hal yang paling ia benci sama seperti kebenciannya kepada ayahnya. Ironisnya, namanya sendiri terdengar seperti “Movie”. Mu-bee hanya ingin dicintai dan diperhatikan oleh sang ayah. Namun, ayahnya justru lebih mencintai film dibanding putrinya, bahkan sampai meninggal akibat kelelahan bekerja di lokasi syuting. Meski membenci film-film membosankan karya ayahnya, Mu-bee justru memilih kuliah di jurusan film dan bekerja di industri yang sama.
Setelah pertemuan singkat di kantor, Mu-bee bertemu lagi dengan Gyeom ketika Gyeom menjadi pemeran pembantu dalam film yang sedang ia kerjakan. Gyeom yang sudah jatuh hati pada Mu-bee terus mencari cara untuk mendekatinya. Dari momen ketinggalan bus bersama, di mana Gyeom bertanya film seperti apa yang ingin dibuat Mu-bee dan ia menjawab “Melo” hingga Gyeom yang sengaja mengganggunya hanya untuk makan bersama. Perlahan, usaha Gyeom membuat Mu-bee mulai membuka hati dan akhirnya jatuh hati padanya.
Namun, usai proses syuting selesai, Gyeom menghilang. Komunikasi yang buruk dan waktu yang tak tepat memisahkan mereka.
Selain Gyeom dan Mu-bee, ada pula pasangan lain: Hong Si-jun, seorang musisi idealis sekaligus teman lama Gyeom, dan kekasihnya kala itu, Son Ju-a, yang bercita-cita menjadi penulis skenario.
Saat Luka Masa Lalu Bertemu Masa Kini
Kunci untuk memahami setiap karakter di Melo Movie adalah dengan melihat luka masa lalu mereka yang belum sembuh. Trauma Mu-bee akan kehilangan adalah cerminan dari karakternya. Sebagai anak yang sangat ingin diperhatikan oleh ayahnya yang sering absen di momen-momen penting, ia tumbuh menjadi sosok yang memendam perasaan dan tampak tangguh di luar. Rasa takut ditinggalkan ini menjadi bom waktu. Ketika Gyeom menghilang tanpa kabar setelah kakaknya kecelakaan, Mu-bee tidak menunggunya. Ia langsung menganggap Gyeom sama seperti yang lain: pergi dan tak akan pernah kembali. Nomor Gyeom diblokir bahkan sebelum Gyeom sempat memberi penjelasan.
Di sisi lain, Gyeom juga menyimpan bebannya sendiri. Ia ingin agar Ko Jun memiliki mimpi dan tujuan hidup selain mengurus dirinya. Gyeom merasa sejak kematian orang tua mereka, Ko Jun terlalu mengorbankan diri dan seolah berhenti hidup untuk dirinya sendiri. Hari liburnya hanya digunakan untuk tidur seharian, seolah tak ada kegiatan lain selain bekerja dan menjaga Gyeom hingga dewasa. Gyeom merasa tak pernah benar-benar mengenal kakaknya sendiri, dan perasaan ini menjadi luka tersembunyi di balik sifat cerianya.
Membangun Rasa Percaya Kembali
Kisah Gyeom dan Mu-bee adalah jantung melodrama drama ini. Lima tahun setelah perpisahan singkat mereka, takdir mempertemukan mereka dengan cara paling ironis: Gyeom, yang kini menjadi kritikus film, harus hadir di pemutaran film debut Mu-bee. Kemunculan Gyeom bagai hantu dari masa lalu. Naasnya lagi, Ko Jun membeli rumah yang ternyata berseberangan dengan rumah Mu-bee.
Mereka terpaksa harus bertemu setiap hari, Mu-bee yang kesal melarang Gyeom muncul di hadapannya. Ini memicu serangkaian tingkah konyol Gyeom yang mencoba menghindari Mu-bee, yang justru membuatnya semakin kesal hingga akhirnya mereka berbaikan. Dari sana, dimulailah permainan "kebetulan yang disengaja", sebuah ajakan konyol dari Gyeom untuk seolah tak sengaja bertemu di suatu tempat. Hubungan tarik-ulur ini membuat kita senyum-senyum sendiri, namun tak berlangsung lama. Saat Gyeom kembali batal menemui Mu-bee karena Ko Jun nyaris celaka lagi, Mu-bee sempat berpikir kenapa ia mempercayai Gyeom lagi?
Namun kali ini berbeda. Keesokan harinya, Mu-bee mengambil inisiatif, mengajak Gyeom pergi ke suatu tempat dan melihat matahari terbenam. Meski rencana itu gagal karena mobil Gyeom mogok, justru di sanalah cerita mereka yang sesungguhnya dimulai, diwarnai perhatian-perhatian kecil dari Gyeom yang akhirnya meluluhkan hati Mu-bee untuk kedua kalinya.
Puncak dari hubungan mereka terjadi di titik terendah hidup Gyeom. Ketika ia harus kehilangan Ko Jun untuk selama-lamanya, Gyeom sempat hilang dan hancur. Namun kali ini, Mu-bee hadir. Ia tidak lari. Ia menemani Gyeom, meyakinkan bahwa ia tidak sendirian menghadapi ini semua. Mereka berbagi rahasia kelam masing-masing, saling mendukung. Di momen inilah Gyeom menemukan tujuan hidupnya lagi: ia memutuskan tak lagi menulis kritik film, tak akan lagi menonton film, karena ia sudah menemukan filmnya sendiri dengan berbagai genre, yakni kehidupannya bersama Mu-bee.
Kalau Tak Bisa Bersama, Kenapa Harus Berjumpa?
Jika kisah Gyeom dan Mu-bee adalah melodrama yang kita tonton, maka kisah Si-jun dan Ju-a adalah kenyataan pahit yang mungkin kita jalani. Ini adalah bagian yang paling seru, getir, dan relevan untuk disimak, sebuah potret menyakitkan dari penantian dan pengorbanan sepihak yang sampai pada titik jenuhnya. Cerita mereka membuat kita bertanya: Bagaimana rasanya jika ditinggalkan begitu saja, lalu lima tahun kemudian, harus bertemu kembali dalam sebuah kebetulan yang tak masuk akal?
Selama ini, dalam keyakinan nya. Si-jun menganggap dirinya lah yang jatuh hati lebih dulu, padahal Ju-a yang dari awal memang menaruh perasaan nya pada Si-jun. Selama tujuh tahun hubungan mereka berjalan dia tas pengorbanan Ju-a yang tak terlihat. Demi menemani Si-jun yang idealis dan sering mengalami kegagalan dalam karir musiknya. Selama tujuh tahun mereka bersama, Si-jun pun merasa ia hanya memiliki Ju-a.
Beberapa adegan memperlihatkan kenapa hubungan itu harus berakhir. Si-jun adalah orang yang cuek, ketus, dan kurang bisa memperlihatkan kepedulian nya terhadap diri sendiri, maupun Ju-a, namun dalam bermusik dia sebenarnya tidak main-main. Meski mengalami kegagalan demi kegagalan, dia terus mencoba hingga mencoba realistis membuat jingle, demi menghasilkan uang. Ketika Gyeom bertanya mengapa Si-jun akhirnya membuat jingle, hal yang dia tak mungkin lakukan. Si-jun hanya menjawab, bahwa suatu saat ia juga butuh uang untuk menikahi Ju-a.
Si-jun mempunyai keluarga yang kurang mendukungnya dalam bermusik, ia bahkan kabur dari rumah karena orang tua nya tak setuju dengan pilihannya. Di titik itu, Ju-a menjadi tumpuan dan tempatnya bersandar. Sayangnya, Si-jun terlalu bersandar.
Bagi Ju-a, kehadirannya terasa hanya sebagai pelengkap hidup Si-jun. Ia juga ingin didengar, dimengerti, dan diperhatikan, hal yang jarang ia dapatkan. Padahal Ju-a sudah sering mengalah, ia bahkan rela melakukan hal-hal yang tak ia sukai, seperti menonton sepakbola, memakan makanan yang tak ia gemari dan menunda mimpinya sendiri sebagai penulis, hanya untuk menemani Si-jun. Padahal, Si-jun sebenarnya peduli… tapi dengan caranya sendiri. Sayangnya, semua sudah terlambat. Ju-a jenuh menunggu perubahan yang tak kunjung datang dan memilih untuk pergi.
Lima tahun kemudian, keadaan berbalik total. Ju-a telah menjadi penulis sukses, sementara hidup Si-jun seolah berhenti sejak hari perpisahan itu. Pertemuan mereka kembali terjadi dalam sebuah adegan yang manis: Si-jun menatap lama poster film yang ditulis oleh Ju-a di sebuah bioskop, bertanya-tanya apakah itu cerita tentang mereka. Tanpa ia sadari, Ju-a melihatnya dari kejauhan dan menghampirinya, membawa mereka duduk bersama. Dua orang asing yang saling mengenal, dengan segudang masa lalu yang belum selesai.
Menonton interaksi mereka seperti melihat dua orang yang marah pada diri sendiri. Si-jun marah karena ditinggalkan, namun di lubuk hati ia mungkin bertanya apakah semua yang ia lakukan dulu lebih untuk egonya ketimbang untuk Ju-a. Sementara Ju-a marah pada penantiannya yang panjang tanpa kepastian. Bedanya, Ju-a mampu mengubah luka menjadi kekuatan untuk tumbuh, sementara Si-jun lupa bahwa perubahan hanya bisa dimulai dari dirinya sendiri.
Konflik memuncak saat Mu-bee meminta naskah Ju-a yakni Melody untuk difilmkan. Ju-a, harus meminta Si-jun mengisi musik untuk film yang diangkat dari kisah mereka. Bagi Si-jun, ini seolah seperti Ju-a memberinya kesempatan untuk “diselamatkan”. Bagi Ju-a, ini adalah caranya untuk berdamai dengan Si-jun.
Proses itu menjadi perjalanan emosional di mana Si-jun akhirnya harus belajar merelakan bahwa hubungan mereka benar-benar telah selesai. Kisah Si-jun dan Ju-a menjadi kontras dari Gyeom dan Mu-bee. Yang satu berusaha mengikhlaskan, yang lain berjuang memulai. Dan di situlah drama ini menemukan keseimbangannya.
Biarkan Visual, Musik dan Detail yang Berbicara
Yang membuat kita semakin terkesan dengan serial ini bukan hanya ceritanya, tetapi juga pengambilan gambar serta pendekatan visualnya yang benar-benar memanjakan mata. Ekspresi para pemainnya tersampaikan dengan jelas melalui akting yang kuat, seakan membuat penonton bisa membaca emosi mereka tanpa perlu banyak dialog.
Musiknya? Jangan ditanya. Meski sering menghadirkan nuansa yang menyesakkan, latar musik justru mengemas serial ini dengan sangat apik, menambah kedalaman pada setiap adegannya.
Bagian yang paling mencuri perhatian adalah penggunaan properti. Ini menarik, karena kita menonton sebuah serial yang bercerita tentang orang-orang yang sedang membuat film, dan di dalamnya ada proses pembuatan film itu sendiri. Properti yang digunakan sangat menggambarkan betapa riwehnya proses produksi, mulai dari set yang detail hingga peralatan teknis, semuanya dikerjakan secara kolektif oleh tim untuk menghasilkan durasi yang kita nikmati di layar. Semua itu dilakukan dengan satu tujuan: memberikan yang terbaik kepada penonton.
Berbicara Tentang Peran
Choi Woo-shik sebagai Ko Gyeom: Tampil sebagai sosok yang selalu terlihat ceria dan berusaha membahagiakan orang lain, meskipun sebenarnya tidak selalu demikian. Ia menyembunyikan luka dan perasaannya dengan sangat rapat. Aktingnya sebagai Gyeom terasa solid dan menyentuh.
Park Bo-young sebagai Kim Mu-bee: Memerankan anak yang kurang mendapat perhatian dari ayahnya, serta takut memberi ruang bagi orang lain karena khawatir akan ditinggalkan. Semua rasa takut dan kerentanan itu tersampaikan dengan sangat kuat lewat ekspresi wajah dan sorot matanya. Rasanya hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kemampuan aktingnya.
Lee Jun-young sebagai Hong Si-jun: Sosok yang cuek dan seolah tak peduli pada sekitarnya, bahkan pada hidupnya sendiri. Sifat itu tak berubah meski ia mengalami patah hati terhebat. Si-jun digambarkan sebagai orang yang tampak tegar namun sebenarnya rapuh—dan itu terasa jelas bagi penonton lewat aktingnya.
Jeon So-nee sebagai Son Ju-a: Sama kuatnya dalam mengimbangi lawan mainnya. Karakter Ju-a diperlihatkan sebagai seseorang yang berjuang sendirian, terlalu percaya, namun juga lelah, entah lelah menunggu ketidakpastian atau lelah dalam memperjuangkan sesuatu. Semua itu tergambar jelas di raut wajahnya: sayang, ingin bertahan, tapi juga tak ingin menyerah.
Rasa Yang Tertinggal
Terlepas dari bagaimana drama ini berjalan, 10 episode yang disajikan sudah terasa utuh. Bahkan jika tidak ada musim kedua, serial ini sudah cukup berhasil menggambarkan sebuah kebenaran pahit: terkadang tak ada waktu yang cukup untuk memproses rasa sedih karena kehilangan, dicampakkan, atau diabaikan. Fokus pada perjalanan emosional kedua pasangan ini sudah tersampaikan dengan sangat kuat.
And Scene
Menonton Melo Movie memang melelahkan, tapi juga membuat ketagihan. Pada akhirnya, serial ini meninggalkan kita dengan begitu banyak perenungan. Seperti judul episode 9, "Kita Bagai Orang Asing yang Saling Kenal", drama ini adalah tentang orang-orang yang punya sejarah bersama namun kini terasa asing. Serial ini memaksa kita untuk bertanya pada diri sendiri dan hubungan yang pernah kita jalani:
Kenapa kita harus bertemu seseorang jika pada akhirnya tidak bisa selamanya bersama? Kenapa kita sulit untuk jujur pada perasaan masing-masing? Apakah ego dan harga diri yang menghalangi semua itu?
Melo Movie adalah sebuah perjalanan karakter tentang cinta dan kehilangan. Ini bukan tontonan tepat jika ingin bersantai dan menikmati sebuah serial tanpa harus berpikir panjang. Tapi kalau kalian tidak takut pada akhir yang ambigu, proses penyembuhan yang menyakitkan, dan pertanyaan-pertanyaan sulit, maka drama ini layak untuk ditonton dan menghabiskan waktu, entah sendiri ataupun bersama orang lain. Justru karena keberaniannya menunjukkan semua bagian yang sakit itulah, Melo Movie menjadi tontonan yang akan lama membekas di hati. Lalu nonton nya dimana? Tentu Netflix dong kan sedari awal sudah disebutkan, kalau susah klik link ini aja ya.
멜로무비
Genre: Romantis, Drama
Rumah Produksi: Netflix, Studio N
Sutradara: Oh Chung-hwan
Tanggal Rilis: 14 Februari 2025
Posting Komentar